Entah, Tidak Sinkron

Ahmad Dzaki Akmal Yuda
5 min readJul 14, 2024

--

Photo by Ricardo Gomez Angel on Unsplash

Bagaimana dikatakan unik? Proses perjalanan hidup hingga umur ke-20 ini sungguh lucu sekali. Manusia super-denial yang mencoba sadar diri untuk tidak terbawa pada arus tren dan kondisi kehidupan orang lain, atau kehidupan standar khalayak ramai. Mencoba berhenti, dan menyadari kenyataan yang benar-benar nyata akan hidup dengan karakteristik yang dimiliki.

Manusia yang terlahir dengan kondisi sungguh membingungkan. Figur orang tua yang keduanya berangkat dari kondisi memprihatinkan. Keduanya sama-sama menjadi anak tengah, sama-sama tertolak ajuannya untuk melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih baik lagi. Bukan hal lain lagi, tapi memang ekonomi, keduanya terhimpit prioritas orang tua mereka yang cenderung diberikan pada anak pertama dan anak terakhir. Persis seperti posisi lahirnya, anak tengah, cenderung terhimpit, komedi.

Tapi bukan menjadi alasan untuk berhenti. Mereka memutuskan untuk pergi dari rumah, mencari kenyamanan dan tujuan hidup yang benar-benar ingin dicapai. Bekerja, membiayai sekolahnya sendiri. Dan, berhasil, lalu dengan rendah hatinya kembali ke keluarga mereka, untuk membantu menopang sebagian sisi yang perlu dibantu. Sungguh mulia sekali.

Berjalannya beberapa kerendahan hati itu, lalu tiba pada masa di mana kondisi hubungan mulai tidak baik. Semuanya mulai lelah dengan kondisi yang palsu dan memanipulasi usaha mereka selama ini. Keluarga yang ternyata hanya memanfaatkan, tanpa berpikir bagaimana susah-sedihnya mereka ketika berusaha tidak marah dengan kondisi tertolak kenyataan ketika itu.

Anaknya, menjadi penerima kenyataan berikutnya atas kondisi yang sudah "dihabiskan" oleh keluarga mereka. Sungguh membingungkan. Ingin menolak dengan marah, tapi apa guna? Masa lalu hanya pengaruh psikologis, tapi tidak merubah kenyataan kondisi kehidupan kedepan. Realita berpikir sangat diperlukan untuk detik ini.

Seperti mengulang kondisi orang tua, mencari jalan lain, dengan memaksimalkan sumber daya yang hanya cukup untuk mengisi otak. Kiranya suku cadang yang banyak itu adalah hal fana, kami hanya berjalan dengan mengais sumber daya ditengah-tengah perjalanan. Apa saja yang bisa mengisi energi, kita ambil. Semuanya dijalani semampunya. Motivasi eksternal hanyalah bualan, seringkali hanya kebutuhan konten, tidak nyata, mungkin saja.

Tidak ada waktu untuk membandingkan. Yang diperlukan hanya yakin, usaha, menerima, menjalani, merevisi tujuan, menyesuaikan keadaan. Bisa saja memang untuk maksimal, tapi mungkin akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Karena kami sedang mengusung muatan yang tidak wajar, hehe. Ya sudah, tetap saja dicoba, pun yang kita rencanakan dan takutkan kedepannya belum pasti terjadi. Percayalah, memang semuanya dinamis, penuh kejutan.

Pada akhirnya, hidup selalu dihadapkan pada pilihan, memilih membakar ambisi untuk mengejar mimpi, atau menyesuaikan rencana untuk enjoy in the moment. Tidak ada salah dan benar, karena memang pilihan, juga dengan konsekuensi tersendiri. Memilih bermain super-logis, atau ber-empati. Sama-sama saja, kedepannya memiliki plus minus yang tidak tertebak, tapi kami memilih satu tujuan yang akan kekal. Tujuannya, bermanfaat untuk orang lain. Waktu yang diberikan, perhatian yang diberikan, telinga yang diberikan, empati yang diberikan, untuk menerima manusia-manusia secara tulus.

Akhirnya, elaborasi saja lirik lagu Untuk Apa / Untuk Apa? dari Hindia. Lagu yang merepresentasikan kebingungan, namun memaksimalkan-mempertanyakan keberadaan (esensi). Alih-alih hanya memuaskan nafsu yang tidak berujung, lebih baik pilih seimbang, terkontrol, terjaga, tenang, cukup, bersyukur, bermanfaat, dan semacamnya kan?

Mari kita membedah lirik sebagai wujud keselarasan makna hidup;

Rumah ini dahulu sederhana, ruang demi ruang dibangun bersama. Keluarga yang tersusun dari momen-momen kecil, beranjak pada capaian yang nyata. Berdiri diatas yang lebih bermakna. Seperti memasuk-akalkan segala hal yang tidak ber-esensi, memaksakan hal-hal yang kurang penting.

Anak tangga yang berlebihan jumlahnya, mendaki terus entah mau kemana? Mewajarkan segala pengejaran tujuan hidup, berlandaskan kemauan yang tersusun dari pengaruh eksternal. Mempertanyakan keyakinan yang lebih dalam atas pilihan keputusan pada beberapa hal dalam hidup, apakah benar-benar dari diri sendiri? Seakan hidup hanya untuk bekerja, mengejar mimpi sampai tak punya rasa. Entah berangkat dari kondisi yang menyedihkan, akan dijalankan sekalipun mengorbankan perasaan, dan itu tetap sah saja, pilihan.

Mengejar mimpi lupa dunia nyata, mengejar mimpi tapi tidak bersama. Sayangnya, manusia tidak bisa mengontrol secara sadar batasan dirinya terhadap hal-hal konyol. Hidup pada dunia ambisi, hidup sendiri, hidup mementingkan diri sendiri, memajukan keberlangsungan diri sendiri. Padahal katanya uang takkan kemana, jika memang rezeki akan ditransfer juga, namun dikejar terus seakan satwa langka, diprosesnya melintah lupa jadi manusia. Kembali pada konteks esensi, betapa manusia lupa akan pemaknaan yang benar-benar diperlukan, salah memposisikan arti-arti pada beberapa hal kehidupan.

Seakan perlu banyak seperti Dewa Siwa, padahal manusia hanya bertangan dua. Apalagi yang dibutuhkan? Apalagi? Memenuhi kebutuhan pengakuan dari pengintai hidupmu? Seperlukah itu. Sadar saja, memang validasi sangat menyenangkan. Obat-obat dosis tinggi pun kalah dengan dosis validasi pencapaian, dan kelebihan diri sendiri, menjebak. Banyak sepatu minim privasi susah pergi. Maka kebingungan yang didapat, dari sekian banyaknya usaha, apakah cukup menenangkan? Apakah justru membuatmu tidak berhenti untuk menyambangi ahli psikologi.

Dan dahulu kau bertanya untuk apa? Lalu kuperhatikan ini semua, barang mahal yang tidak ada "harganya", dan sekarang kubertanya untuk apa? Kondisi dibawah membuatmu kesal, kondisi diatas membuatmu mual. Manusia yang anti terhadap hal-hal yang cukup. Mempertahankan sesuatu yang terlampau cukup, meskipun esensinya entah terasa atau tidak, yang terpenting terpenuhi secara nafsu.

Menimbun surga yang tidak bisa dibagi, akhirnya pun wafat sendiri-sendiri. Tidak terbayangkan, sudah tidak mau mengakui banyaknya nikmat yang didapat, tapi justru ingin diakui kerja kerasnya yang terdepan. Tidak memperhatikan kontribusi orang lain, dan merasa bisa hidup hasil keringat sendiri. Apakah makananmu adalah hasil tukar uang dan masakan saja? Tidak. Semua orang saling membutuhkan secara esensial namun tidak secara langsung, semuanya benar-benar perhatian, hanya saja kita tidak men-syukuri.

Rute pagi yang dahulu ceria, menu favorit kini hambar rasanya. Masing-masing selamat, dan bercerita, namun tidak lagi miliki bersama. Masa lalu yang benar-benar terabadikan dari gerakan ke gerakan lainnya. Menjadi hilang secara tiba-tiba hanya karena saling menuntut kekurangan diri sendiri kepada pasangan. Aku tidak bisa mengontrol amarah, apakah kamu bisa mengontrolnya? Cinta macam apa ini? Sangat merepotkan. Selesaikan dulu masalahmu, jadikan media hubungan sebagai peng-indah hidup saja, jangan yang lain.

Cepat namun sendiri, bersama tapi meracuni. Sendiri belum tentu nyaman, bersama belum tentu nyaman. Yang terasa nyaman hari ini, adalah hari ini. Bias terhadap perasaan ini cenderung menyesatkan, seolah-olah paling ingin menyendiri, atau butuh pendamping. Tapi nyatanya hanya butuh kesadaran, dan penerimaan. Sungguh konyol sekali penalaranmu, wahai manusia.

Ending, tidak ada yang penting, selagi kita tidak memperhatikan. Maka baca semuanya bersama hati, hati yang menerima, hati yang mau menyadari kebenaran, bukan memvalidasi otakmu yang cenderung mau dianggap benar sendiri. Jangan lagi terkotakkan oleh standar yang dipermainkan oleh industri, bukan masalah kebebasan, tapi masalah pilihan dan kesesuaian. Tapi, pun juga tidak apa-apa, jika kondisimu saat ini memaksa untuk menjadi manusia yang alakadarnya, seapa-adanya memperjuangkan kondisi kehidupan agar lebih baik.

Hidup diatas pilihan yang terus direvisi, tidak ada tujuan mutlak, adanya tujuan yang selalu mencoba menyesuaikan atau disesuaikan. Tidak usah terlalu serius, karena yang serius hanya hatimu yang terlalu bingung menafsirkan ini semua. Bye-bye.

--

--

Ahmad Dzaki Akmal Yuda

Just sharing stories, and perspectives as outlined in writing, or you could say 'typing'. Find me on IG (@akmalyudaa).