Kejujuran yang Ber-Sudut Pandang

Ahmad Dzaki Akmal Yuda
8 min readFeb 21, 2024

--

Photo by Andrew Butler on Unsplash

Tiap masing-masing kita diciptakan oleh Tuhan dengan kelebihan dan kekurangan yang berbeda-beda. Kekurangan kelebihan diri akan menuntun kita pada bertemunya peluang, jati diri, keterampilan hingga bahkan kesuksesan. Dan semua hal tersebut akan kita perbaiki secara ber-iringan ketika kita melakukan analisa kehidupan secara berkala. Memperbarui kekurangan dengan perbaikan, dan mempertahankan kelebihan dengan konsistensi. Pada bagian yang belum terisi atau masih perlu “reason”, akan kita susun dengan kepingan puzzle baru, sampai ujungnya menjadi puzzle kehidupan yang utuh dan luarbiasa.

Sejak lahir kita sudah melakukan yang namanya mengamati serta menganalisa, yang mungkin diri kita sendiri tidak sadar. Banyak sekali aktivitas dan fikiran kita didasarkan oleh analisa detik itu, dan dari kejadian-kejadian sebelumnya. Bahkan ketika kita hendak membulatkan suatu keputusan dalam hidup, seperti ketika akan beraktivitas, yang pertama kita mulai adalah menganalisa. Memahami “otak” kita untuk di-sinkronkan dengan sekitaran, sehingga menemukan aktivitas-aktivitas yang berikutnya akan kita lakukan. Dalam hal lain juga terjadi, misalnya menganalisa bagaimana personal branding yang akan kita ciptakan dan tawarkan pada masyarakat.

Personal branding sudah kita lakukan sejak lama, bahkan semenjak kecil. Personal branding muncul baru beberapa tahun belakangan, yang didukung oleh cepatnya penyebaran informasi melalui digitalisasi. Sehingga ilmu yang mempelajari bagaimana mengelola dan membangun potensi untuk dikeluarkan sebagai suatu citra atau reputasi (personal branding) pun berkembang. Lebih jauh dari itu, personal branding sebenarnya bisa dikatakan suatu pembentukan atau penyusunan karakter diri yang dikeluarkan sebagai citra, sehingga terbangun-lah persepsi mereka (masyarakat) ketika memandang diri kita (entah secara personal atau profesional).

Mengapa saya mengatakan jika personal branding berasal dari karakter diri? Karena semua yang terbentuk didalam diri kita merupakan kompleksnya pengaruh, yang bisa berasal dari internal-diri atau bahkan eksternal. Maka ketika kita membentuk suatu personal branding, disitulah sebenarnya akumulasi bagian-bagian kecil dari pengaruh, perubahan dan perkembangan diri kita, entah sifat atau semacamnya, yang telah lama terbangun berdampingan bersama waktu, hingga kemudian menjadi satu kesatuan yakni “branding”.

Pengaruh Internal dan Eksternal Terhadap Personal Branding.

Photo by Clark Tibbs on Unsplash

Coba ingat-ingat lagi bagaimana masa kecilmu. Pasti nya semenjak lahir sebagian besar dari kita pernah mengalami atau mendapati sikap orangtua kepada kita yang berbentuk dorongan untuk melakukan hal-hal yang “baik” pada diri kita. Kita sering dipahamkan bahwa kita harus pintar, kita harus terampil, bahkan harus terlihat baik di mata orang lain (serba standar orang lain). Memang bagus. Tapi sayangnya, salah satu dari kita mungkin justru merasakan hal tersebut hingga pada level yang bisa dikatakan merusak. Seperti perilaku orangtua yang memaksa anaknya untuk bersikap baik didepan tetangga atau orang lain, yang tujuannya bukan karena untuk benar-benar mendidik, tapi justru karena orangtua malu jika kita melakukan hal yang tidak sesuai dengan kemauan mereka, yang entah sumbernya dari gengsi atau apalah.

Dalam hal paksaan untuk berperilaku baik mungkin ada baik ada buruknya. Semua bergantung pada sudut pandang dan batas wajar yang membatasinya. Dan memang se-normalnya orangtua harus mengajarkan yang baik-baik, berdasarkan yang selayaknya baik bagi kehidupan anak mereka kedepannya. Pun, kita sebagai anak harus memiliki kesadaran bahwa kebaikan bukanlah hal yang sulit ‘tuk dilakukan.

Sikap-sikap seperti itu tadi, saya simpulkan sebagai pengaruh eksternal personal branding. Karena dorongan-dorongan tertentu yang kita dapat dari luar diri kita, itu juga akan menimbulkan perubahan, atau pengaruh baru terhadap pola fikir dan pola perilaku diri kita. Dan akhirnya munculah persepsi, seperti tetangga atau teman-teman yang mengenal kita sebagai orang yang baik dan lain sebagainya.

Pengaruh eksternal pada personal branding sudah masuk dalam kategori rutinitas kehidupan kita, yang kita sendiri pun tidak bisa kontrol, sehingga membentuk suatu pendisiplinan atau kepatuhan yang berimbas pada personal branding kita di masa-masa berikutnya. Berbeda dengan pengaruh internal, yang lebih menekankan pada pengaruh dan perkembangan yang langsung berasal dari dalam diri kita. Berdasarkan kemauan dan inisiatif diri sendiri untuk merubah hal yang sudah tidak perlu dipertahankan lagi didalam diri kita. Bisa dikatakan buang-buang yang merusak, lalu meng-aplikasikan yang baik-baik saja. Terlepas konsistensi nantinya mungkin tidak berpihak, ya secepatnya untuk kembali pada jalur yang selayaknya dilalui.

Kita semua pasti sudah paham bagaimana pengaruh internal-diri pada personal branding. Yang umumnya berangkat dari bentuk asumsi dan clash-clash ketakutan (insecurity) hingga memunculkan keinginan untuk membangun citra pada diri kita secara mandiri. Namun membangun citra secara mandiri bukan muncul baru-baru ini saja, melainkan sudah terjadi jauh sebelum ketika kita mengenal personal branding. Contoh, sejak kecil kita mungkin bergaul dengan banyak manusia, yang mungkin saja kegiatannya adalah bermain, main dan main. Adanya kegiatan tersebut tidak terlepas dari adanya kompetisi, dan berujung pada ambisi-ambisi kecil yang menciptakan mindset untuk diri kita bisa mencapai tingkat tertinggi atau pemenang pada setiap permainan yang ada.

Ambisi-ambisi kecil menghubungkan kita pada personal branding. Karena ketika kita memperhatikan ambisi tersebut secara “telaten”, diri kita cenderung mengejar pembangunan citra sebagai pemenang, sebagai alpha, atau sebagai pemegang kuasa. Maka ketika itu juga, secara tidak sadar kita sudah menciptakan personal branding. Lingkungan disekitar kita akan mengenal kita sebagai orang yang otentik, yang memiliki mindset dan keluaran sikap yang ambisius tak mau terkalahkan. Timbul citra jika kita adalah anak yang paling memegang kuasa di pertemanan tersebut.

Semua pengaruh eksternal dan internal tadi akan saling bersinggungan. Menumpuk dan melengkapi bagian-bagian yang menurut kita perlu untuk di-citra-kan. Tetapi dibalik personal branding yang telah terbangun, pastinya tidak lepas dengan adanya faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Salah satunya kejujuran. Lalu, apa hubungannya pengaruh internal dan eksternal pada personal branding, terhadap kejujuran?

Kejujuran serta Kebohongan yang Mungkin Terlibat di Personal Branding.

Photo by Claudio Schwarz on Unsplash

Dalam paragraf ini, akan saya jelaskan berdasarkan apa yang saya pahami dan amati, dan mengapa saya ber-opini “kejujuran juga bisa membawa kita pada keburukan”. Pembahasan ini terfikirkan oleh saya ketika mendapati kelas kuliah. Disaat ada dosen yang waktu itu membahas bagaimana sisi-sisi lain tentang dunia ini. Beliau mengatakan dengan lantang, “Kita semua ini, termasuk saya. Akan double manipulatif-nya ketika berbicara pada orang lain jika jujur lebih baik daripada bohong”.

Saya berpikir itu ada benarnya juga. Memang jujur sangatlah baik, dan menghindari kebohongan itu bagus. Tapi realita nya kita semenjak kecil, sudah lekat dengan yang namanya manipulasi atau kebohongan atau ber-monopoli. Hanya saja yang dapat membedakan kejujuran dan kebohongan adalah konteks dan sudut pandang-nya. Kita bisa memakai kejujuran pada hal-hal yang kita anggap itu benar berdasarkan “kebenaran”, bukan “pembenaran”. Dan sebaliknya, kebohongan akan cenderung benar, sebagai “pembenaran”.

Untuk perihal personal branding, setiap orang memiliki pandangan dan definisi yang berbeda-beda. Mungkin ada yang mengatakan jika personal branding sangatlah berbeda dengan pencitraan, bahkan terlepas dari kebohongan. Namun seiring berjalannya waktu, konsep personal branding sudah sangat jauh disalah artikan oleh mereka yang sudah mengetahui kepentingan dan hal “menguntungkan” dibalik-nya untuk dimanfaatkan (dalam hal ini, adalah konteks yang mengarah pada kejahatan). Sehingga fungsi personal branding yang asli tidak dimaknai secara benar, dan justru dipergunakan untuk hal-hal yang membawa pada ke-negatif-an.

Kembali pada kalimat di paragraf-paragraf sebelumnya, jika kebohongan dan kejujuran dipergunakan sesuai konteks. Jadi coba bayangkan realitas kejujuran dan kebohongan ini:

  1. Kebohongan yang “baik”, akan menuntun konsistensi kebaikan. Pada kasus orangtua yang mendidik pola pikir dan perilaku kita semenjak kecil. Kita menerima didikan orangtua dengan konteks untuk membohongi dan memanipulasi orang lain. Karena kita dididik untuk baik, dan menampakkan-nya yang mungkin saja pada beberapa hal baik, kita merasa itu bukan “diri kita”. Tapi disisi lain sebenarnya hal seperti itu tidak akan membuat kita rugi, toh jika kita bisa menemukan titik nyamannya, kita-lah yang merasakan hasilnya sebagai bentuk penerimaan pengaruh eksternal untuk menjadi baik secara “asli”. Jadi ini adalah pemupukan kebohongan yang bisa saja membawa kita pada kebaikan. Dibatasi oleh batas-batas wajar supaya tetap seimbang dan tidak terjatuh pada “nyaman-nya kebohongan”.
  2. Kejujuran tanpa filter, akan membawa kita pada ketidak-teraturan. Sebaliknya, kita menjadi orang yang jujur apa adanya tanpa ada intervensi dari orangtua yang menuntut menjadi seorang yang baik. Kemudian kita berkata “Ya inilah diri kita”. Ini baik, tapi pada beberapa kasus justru kita sendiri yang sering lepas kendali untuk ber-personal branding. Kita menampakkan segala kejujuran secara apa adanya, termasuk pada hal-hal yang mungkin bagi lingkungan masyarakat atau bahkan dampak ke diri kita sendiri itu sangat tidak baik. Contoh, kita mungkin pernah (tanpa sengaja, atau bahkan disengaja) menampakkan hal-hal yang “merusak diri” pada platform sosial media dan juga masyarakat. Kita tidak bisa memilah mana yang selayaknya di-publikasikan kepada viewers dan audience. Kita tidak mau memahami jika ada yang beberapa dari mereka masih masuk dalam kategori anak-anak, yang masih belum “tegas” pengetahuannya tentang mana hal baik atau hal buruk, mana yang harus ditiru atau tidak ditiru. Terlepas itu adalah peran kedua belah pihak, antara kita dan orangtua anak-anak tersebut untuk saling menjaga. Tapi tetap saja kejujuran seperti kasus tersebut akan berpengaruh buruk untuk orang lain, pun juga bagi diri kita sendiri. Dan masih sama dengan nomor 1, kunci-nya ada di batas-batas wajar supaya tetap seimbang.
  3. Kejujuran untuk berperilaku baik secara tulus, dan kebohongan untuk berperilaku baik yang sebenarnya diri kita tidak nyaman dalam “kebaikan”. Diri kita tergerak untuk berperilaku baik, karena mungkin sudah muak dengan kebobrokan diri di hari-hari kemarin, dan kita merasa perlu perubahan yang membawa pada kebaikan. Tapi pada kasus yang bersamaan atau kasus yang lain, ada juga yang enggan tergerak lebih jauh pada konsistensi kebaikan. Karena merasa ada penolakan dan kebohongan yang menutupi keberubahan-nya yang “baik” selama ini. Clash-clash seperti ini yang sering muncul ketika hendak membangun personal branding, yang berangkat dari internal-diri kita sendiri.

Kesimpulan

Jujur dalam ber-personal branding itu baik. Tapi justru jangan menghancurkan esensi sejati dari personal branding hanya demi mendapatkan atensi atau eksistensi semata. Yang ujung-ujungnya kita pergunakan untuk memanipulasi orang lain, dan masyarakat akan jauh dari kita, dalam artian tidak mendapati keaslian diri kita.

Seperti yang dikatakan Alexander Sriewijono pada Artikel Life Hacks, Great Mind: Bukan Sekedar Pencitraan,

“Lama kelamaan pun personal branding yang mengarah ke pencitraan akan menjadi amat melelahkan bagi seseorang. Orang yang tidak hidup dalam realitasnya, memiliki topeng yang berlapis — itu melelahkan”.

Ketika kita tidak memahami bagaimana batasan-batasan diri dalam ber-personal branding, pada akhirnya yang akan ter-manipulasi bukan hanya audience kita, tapi justru diri kita sendiri. Dan selamanya kita akan nyaman pada lingkungan-lingkungan yang manipulatif.

Kejujuran yang terlalu kita lepas dan tidak kita berikan batasan dalam ber-personal branding, juga dapat berakibat pada pola berpenampilan “apa adanya” yang tanpa “filter”. Kita cenderung menampilkan atau mecontohkan hal-hal yang selayaknya tidak baik untuk dilakukan. Karena bisa saja kita menebarkan kenegatifan kepada orang lain yang mungkin niat kita tidak seperti itu, dan lahir lah individu-individu baru yang mempertahankan ke-negatif-an hasil tiruan dari diri kita selama ini.

“Jadi tetap-lah waspada dan sadar akan batasan-batasan yang ada pada tiap kejujuran, maupun kebohongan. Sebab tidak semua layak di-branding-kan, dan bukan juga kita egois karena memikirkan jika ini adalah hidup-hidup kita, bukan. Apa yang keluar dari diri kita, apapun bentuknya, perlu pertaggungjawaban dan pertimbangan”.

Mungkin itu saja keresahan-ku. Yang aku ulas dengan kumpulan kalimat-kalimat yang entah membingungkan, atau bagaimana. Kunci dari kejujuran adalah perihal keaslian diri, tanpa adanya “kepentingan lain” yang merusak esensi dari kejujuran itu sendiri. Pun juga kejujuran memiliki sudut pandang, dan batasan-batasan yang perlu dipahami oleh diri kita dan lingkungan sekitar kita.

Komen jika ada yang kurang jelas, atau yang pernah merasakan hal seperti diatas. Thank You!

— Best Regards, Ahmad Dzaki Akmal Yuda.

--

--

Ahmad Dzaki Akmal Yuda

Just sharing stories, and perspectives as outlined in writing, or you could say 'typing'. Find me on IG (@akmalyudaa).