Pengalaman Traumatis : Pola Pikir dan Perilaku Independen yang Berlebihan

Ahmad Dzaki Akmal Yuda
5 min readFeb 17, 2024

--

Photo by Devin Justesen on Unsplash

Memahami Adanya Gap yang Kompleks, antara “Zaman Tumbuh-nya” Orang Tua dan Zaman Kita saat ini.

Setiap manusia mengalami perlakuan yang berbeda-beda sejak lahir hingga dewasa, dan pengaruh terbesarnya berasal dari lingkungan mereka bertumbuh. Dari yang paling terdekat yakni keluarga, kemudian beranjak remaja hingga dewasa dan bertemu dengan berbagai circle pertemanan, juga latarbelakang yang bermacam-macam. Dalam ruang keluarga sendiri, orangtua adalah tokoh utama yang paling berdampak untuk berupaya memberikan segala pemahaman dan pembelajaran yang berfungsi untuk menguatkan pola fikir serta prinsip kepada anak dalam berkembang dan berperilaku.

Umumnya, orang tua akan membagikan tips dan trik mengenai bagaimana menjalani kehidupan secara baik dan benar yang berlandaskan pengalaman masa lalu mereka, dan dikemas menjadi beberapa percontohan agar dapat diadaptasi oleh anaknya. Dengan harapan jika anaknya juga bisa meng-aplikasikan apa yang sudah mereka praktekkan selama hidupnya. Namun sayangnya orang tua lupa, jika perbedaan timeline peradaban zaman dirinya dan anaknya yang sangat jauh berbeda itu akan menimbulkan tingkat beban yang berbeda pula.

Contoh, zaman sekarang ini, kita semua bisa merasakan bagaimana mudahnya mobilisasi dan aksesibilitas untuk mendapatkan sesuatu. Entah menggunakan transportasi pribadi ataupun transportasi umum. Semua hal yang kita inginkan sangat mudah untuk kita jangkau, yang tadinya kita harus keluar rumah untuk membeli barang A, sekarang kita sudah bisa duduk manis dan menunggu barang yang kita pesan untuk datang sendirinya ke rumah kita. Dan inilah yang mungkin merupakan hal-hal yang tidak pernah dirasakan oleh orang tua kita ketika era dimana mereka seharusnya merasakan segala privilege atau kemudahan yang sama seperti kita sekarang dapatkan.

Sehingga dalam perjalanan memahamkan anaknya, para orang tua ini memiliki keyakinan yang kuat jika bagaimana pun itu hanya perihal zaman. Justru orang tua beranggapan jika anaknya bisa lebih ringan menjalani segala urusan, karena adanya fasilitas kemudahan yang sangat membantu tersebut. Hingga berujung pada momen-momen dimana mereka meng-compare beban yang ada pada dirinya ketika dahulu, dengan beban zaman anaknya sekarang ini. Seperti, “Dulu mama papa kalau berangkat sekolah itu jalan kaki, dan jaraknya 10 kilometer. Dan dulu itu serba mandiri, ini itu tidak menggantungkan ke orang tua atau bahkan orang lain. Semuanya dikerjakan sendiri dengan tanggungjawab”.

Contoh seperti itu seringkali terjadi pada kita sebagai anak dengan orang tua. Namun itu wajar-wajar saja, karena orang tua sejatinya tetap orang tua. Bagaimana pun cara mereka mendidik kita sebagai anak, kita harus bisa menerima dengan baik, meskipun dalam hal seperti itu ujung-ujungnya diri kita sendiri yang harus bisa memilah mana yang baik-buruk. Karena mereka tidak mau menerima pertimbangan lain yang mungkin dirasakan oleh generasi kita saat ini, terlepas itu berat atau ringan.

Dan perbedaan zaman bukan hal yang bisa di-compare secara 1:1, karena banyak sekali 0,0001 dibelakangnya, atau pertimbangan dan perbedaan yang memerlukan toleransi dalam menjalaninya. Jadi cukup kita adaptasi bagian yang masih kompatibel dengan era sekarang, dan kita mampu meng-aplikasikan itu kedalam sistem kerja otak dan fisik kita.

Efek Pengelolaan dan Penerimaan Didikan dari Orang Tua yang Akhirnya Membentuk Kita Menjadi Manusia Super-Mandiri.

Orang tua memiliki hak untuk berpandangan seperti bagaimana menentukan cara atau pola didik kepada anak. Entah dengan penuh kedisiplinan, atau dengan memanjakan anak. Semuanya sah-sah saja ketika anak yang diberikan hal seperti itu nyaman untuk menerimanya.

Namun ada juga, beberapa kekeliruan orang tua yang sering terjadi dalam memberikan pemahaman kepada anaknya. Seperti mencoba memaksakan apa yang ada di-diri mereka, entah pengalaman keras, buruk atau baik, agar bisa bahkan harus dimiliki dan dilakukan oleh anak-anaknya. Kemandirian misalnya, yakni suatu sikap yang merujuk pada penguasaan tindakan atas diri sendiri tanpa dukungan atau bantuan orang lain. Sikap mandiri memang baik, sayangnya pada kenyataan yang terjadi, orangtua sudah terlampau jauh atau ‘berlebihan’ dalam memahamkan konsep kemandirian yang benar kepada anak-anak mereka.

Sehingga ketika anak-anak mereka salah dalam menafsirkan konsep kemandirian, maka timbul lah kemungkinan pola fikir kemandirian yang melebihi level dari “mandiri” yang orang tua mereka telah jalani hingga detik ini. Karena tidak semua anak bisa menangkap secara baik dan benar, pun juga dengan pemilahan konsep mana yang efektif dan tidak efektif. Lalu, bagaimana efek yang terjadi kepada anak yang menerima didikan kemandirian yang berlebihan itu?

Beberapa anak muda menjalani kehidupannya saat ini banyak didasari oleh pemupukan kemandirian masa kecil yang sudah “berlebihan”. Mereka sangat enggan meminta bantuan, dan malah berfikir jika akan merepotkan orang lain atau bahkan merasa jika bantuan orang lain hanya bernilai “balas-budi”, sehingga mereka memilih untuk yakin pada setiap tanggung jawab yang dilakukan oleh dirinya sendiri. Kemandirian berlebihan dalam jangka waktu yang lama akan mempengaruhi kesehatan fisik dan mental mereka. Kemandirian yang sudah berlebihan dan tidak sehat dapat memunculkan reaksi yang sering disebut Hyper-Independence.

Dineka Ringling menuliskan dalam artikel “The Connection Between Trauma and Hyper-Independence”, bahwa Hyper-Independence merupakan respons trauma yang membuat orang berpikir bahwa mereka harus mengambil keputusan dan mencapai sesuatu tanpa bantuan orang lain. Menurutnya, Hyper-Independence berpotensi muncul ketika orang tua secara berulang kali bahkan terus-menerus tidak mampu atau tidak mau memenuhi kebutuhan masa kecil anak. Banyak sekali faktor yang mengakibatkan pola pikir seperti itu muncul, sama juga ketika anak yang sudah lama bergantung pada seseorang, kemudian dibuat kecewa dengan alasan yang tidak meng-enakkan dari orang tersebut, bahkan seakan-akan menyiratkan penolakan secara halus, tetapi itu tetap membekas dan menyakitkan.

Akibat dari Adanya Kemandirian yang Super Duper Berlebihan, dan Bagaimana Perihal Traumatis Mempengaruhi Hidup Seseorang.

Neglect and Emotional Abuse atau pengabaian dan pelecehan emosional, merupakan penyebab reaksi saat ini yang tercipta dari pengalaman traumatis di masa lalu. Keduanya mempengaruhi berkembangnya sikap Hyper-Independence pada pola fikir dan perilaku seseorang. Banyak orang beranggapan jika kontak fisik saja yang hanya bisa melukai manusia, dan meremehkan adanya kenyataan bahwa luka batin dan emosional memiliki efek yang lebih merusak.

“Emotional abuse maybe the most damaging form of maltreatment due to causing damage to a child’s developing brain affecting their emotional and physical health as well as their social and cognitive development”, atau “Pelecehan emosional mungkin merupakan bentuk penganiayaan yang paling merusak karena menyebabkan kerusakan pada perkembangan otak anak yang mempengaruhi kesehatan emosional dan fisik serta perkembangan sosial dan kognitif mereka”. (Menurut Heim dkk, dalam The American Journal of Psychiatry yang berjudul “Decreased cortical representation of genital somatosensory field after childhood sexual abuse”.)

Silvia PF menjelaskan dalam tulisan Hyper-Independence: Bagaimana Trauma Membuat Kita Terlalu Mandiri?, jika seseorang mengalami sesuatu yang traumatik, otak secara otomatis mengaktifkan mekanisme pertahanan tubuh, juga dikenal sebagai respon bertahan hidup. Namun respon akan hal tersebut kebanyakan berujung pada sesuatu yang membahayakan diri mereka sendiri, termasuk Hyper-Independence. Terdapat beberapa penyebab mengapa seseorang dalam perkembangannya, tidak sadar akan lahirnya Hyper-Independence. Yakni:

1. Merasa Tidak Semestinya Mendapatkan Bantuan Orang Lain

2. Pengabaian dari Diri Sendiri dan Orang Lain

3. Kekecewaan Terhadap Perlakuan Orang Lain

Kesimpulannya, kemandirian pada diri seseorang sangatlah baik, namun alangkah bagusnya pada porsi yang seimbang dan di-iringi kesadaran bahwa konsep penerimaan bantuan orang lain adalah hal yang wajar. Menyembuhkan sikap yang kurang disadari ini mungkin cukup rumit, perlu proses berkala dan kesabaran yang luar biasa. Diperlukan beberapa pendekatan, dari segi psikologis tentunya, lingkungan yang komunikatif, menumbuhkan kepercayaan terhadap orang lain, keluarga yang tidak memberi aturan mengikat, serta peran diri sendiri dalam mengevaluasi sisi emosional atau ego yang menutupi sikap positif untuk merubah sikap Hyper-Independence.

Jadi itu-lah ulasan singkat yang berasal dari beberapa referensi dan opini pribadi yang membahas inti dari kemandirian yang berlebihan, atau istilah lainnya Hyper-Independence.

Komen jika ada yang merasakan hal seperti diatas. Thank You!

— Best Regards, Ahmad Dzaki Akmal Yuda.

--

--

Ahmad Dzaki Akmal Yuda

Just sharing stories, and perspectives as outlined in writing, or you could say 'typing'. Find me on IG (@akmalyudaa).